Industri Film Porno Indonesia Bangkit
0 commentSiapa disangkal, film lokal berbau sex yang dasyat mengundang hasrat kaum muda mudi di Indonesia menjelajah dunia internet untuk mendownload bahkan memperbanyak. Memang sudah agak basi. Tapi katanya, sekitar 2 video porno diproduksi setiap harinya di Indonesia. Walau agak mengejutkan, namun saya melihat angka ini (maaf) terlalu konservatif. Ponsel berkamera dan kamera digital semakin canggih dengan harga yang terus menurun. Akses internet juga mudah dan murah diperoleh di hampir penjuru negeri. Dengan penduduk 220 juta lebih, “seharusnya” ada sekitar 2 ribu video porno baru setiap harinya.
Kalau Anda ingat, dulu pernah ada nama-nama Sally Marcelina, Inneke Koesherawati, Kiki Fatmala, dan sebagainya. Bedanya, dulu peredaran dilakukan dengan malu-malu, sementara sekarang lebih terbuka. Kalau dulu dilakukan pemain film porno, sekarang meluas ke selebritis, foto model, pelajar sekolah, sampai (mantan) wakil rakyat. Konon katanya sudah lebih dari 500 judul film porno lokal beredar di Indonesia, dengan peredaran uang yang sedikitnya mencapai Rp 19,6 miliar. Barangkali memang hal-hal demikian telah menjadi industri yang (mungkin) sangat menguntungkan.
Saya tak punya gambaran lebih lengkap tentang bisnis ini di Indonesia. Tapi coba kita lihat di Amerika.
Di awal 1900-an, pelacuran secara teknis memang ilegal—-but ubiquitous, ada di mana-mana. Di masa itu, terdapat sekitar seribu tempat pelacuran di Chicago dengan 5 ribu pekerja seks penuhwaktu yang tercatat. Apabila ditambah dengan pekerja paruhwaktu, pelacur jalanan, maupun ABG yang diam-diam mencari tambahan penghasilan di sektor ini, jumlahnya bisa empat-lima kali lipat.
Salah satu yang melegenda adalah Everleigh Club, rumah bordil kelas atas di South Deaborn St. yang dikelola Minna dan Ada Everleigh. Mereka hanya menerima pelanggan kelas atas dengan berbagai layanan yang termasuk revolusioner kala itu. Kalau umumnya pria merasa malu ketahuan masuk tempat pelacuran, maka memasuki Everleigh Club justru bisa mendongkrak popularitas seseorang.
Selain punya imej yang “bagus”, Everleigh Club juga sangat menguntungkan. Tarif untuk masuk saja setara dengan 50 kali makan malam untuk tiga orang. Pendapatan yang diterima Minna dan Ada pada malam-malam sibuk mencapai $5 ribu. Padahal, pelacur mereka (disebut butterfly) cuma mendapat $100-$400 per minggu. Selain itu, pengeluaran untuk membiayai klub, terutama renovasi, hanya menghabiskan $18,000 per tahun. Ketika Minna dan Ada pensiun, mereka mengantongi uang $1 juta, atau setara dengan $20 juta di masa ini.
Bandingkan juga dengan Playboy, salah satu penguasa media di bidang ini.
Playboy adalah leader selama 54 tahun terakhir dengan sekitar 10 juta pembaca di seantero dunia. Mereka memberi lisensi ke 23 negara berbeda dengan konten yang disesuaikan dengan tren dan taste lokal. Playboy juga merupakan majalah porno pertama yang me-launch website di tahun 1994. Playboy juga punya klub di Las Vegas yang tersohor dan akan membuka mansion baru di Macau tahun 2009. Acara mereka, The Girls Next Door, menjadi pemimpin di niche-nya.
Playboy juga memperluas ke appearel & accesories. Penjualan mereka sudah mencapai $800 juta dengan pelanggan di lebih dari 150 negara. Sampai saat ini Playboy punya 9 butik dan membuka flagship store di London September ini. Playboy juga sedang me-launching social network seperti Facebook, tetapi memuat bio seksual, foto dan video bugil, berbagai event dan party, dan sejenisnya. Bisa dibilang, Playboy adalah pembentuk modern sense of sexuality.
Tapi, si kelinci ternyata tak sehebat nama besarnya.
Manajemen Playboy kini dikelola Christie Hefner, yang tak memiliki kharisma sehebat ayahnya. Selera Hugh Hefner terhadap wanita cantik dan seksi dipandang tak lagi sesuai dengan perkembangan jaman. Playboy juga harus berjibaku dengan internet, karena di internet konten yang lebih vulgar (dan mungkin lebih baik) dari Playboy bisa diperoleh dengan sangat mudah. Dan gratis.
Lebih parah lagi, Playboy kabarnya kehilangan penulis konten terbaik mereka. Playboy juga tak lagi punya playmate dengan nama besar seperti Pamela Anderson, Carmen Electra, Jenny McCarthy, atau Anna Nicole Smith. Pelanggan Playboy juga mengeluhkan model sekarang yang terlalu “photoshopped“, penuh make up, dan tata artistik yang buruk. Playboy juga kalah dari FHM dan Maxim yang lebih bisa menarik selebritis. Tak heran kalau penjualan Playboy turun separo lebih sejak tiga dekade belakangan.
Dari segi keuangan, Playboy juga terus-terusan merugi. Harga sahamnya “cuma” $10,83—-terbilang murah di sektor sejenis. Namun, dengan kapitalisasi pasar $360 milyar dan PER 27 kali, Playboy jelas terlalu “mahal.” Apalagi, ROE Playboy cuma 5%. Artinya, menabung di bank saja lebih menguntungkan daripada berinvestasi di Playboy.
0 comment: to “ Industri Film Porno Indonesia Bangkit ”
Posting Komentar