Hikmah Kasus Film ”Buruan Cium Gue”
0 commentPemutaran film Buruan Cium Gue produksi Multivision Plus di bioskop-bioskop mengundang pro dan kontra. Padahal diakui Titi Said, Ketua Lembaga Sensor Film (LSF), film Buruan Cium Gue sudah melalui tahapan sensor, sehingga tidak menyangka reaksi masyarakat yang luar biasa menolaknya. Ratusan perempuan yang tergabung dalam Forum Silaturahmi Antar Pengajian (Forsap) unjuk rasa ke kantor Menteri Kebudayaan dan Pariwisata (Menbudpar), 20 Agustus 2004, memprotes maraknya pornografi. Bahkan, kaum ibu yang mengaku mewakili 4.800 pengajian dari 23 provinsi di seluruh Indonesia ini menuntut agar Menbudpar I Gede Ardika mencabut izin produsen Buruan Cium Gue untuk membuat film. Mereka juga memprotes penayangan film TV dan VCD yang berbau porno, terutama adegan pakaian yang sangat minim.
Kasus film Buruan Cium Gue seakan melengkapi tayangan televisi yang berbau porno semacam Nah Ini Dia, Bioskop Dewasa, atau yang terbaru, Cucak Rowo yang sarat dengan eksploitasi seksual manusia yang sudah tak terkendalikan. Kontroversi film Buruan Cium Gue sesungguhnya menjadi bagian dari sejarah film Indonesia dan dunia sejagat. Tetapi film Buruan Cium Gue patut mendapat sorotan khusus, mengingat para pemainnya adalah kaum remaja yang diperankan untuk mengumbar nafsu birahi secara vulgar. Dan konyolnya, syuting maupun setting film Buruan Cium Gue sendiri diambil di sebuah sekolah, padahal lembaga pendidikan merupakan simbol yang menjunjung nilai etika dan moral pada posisi tertinggi. Reaksi penolakan masyarakat atas pemutaran film ini sudah benar. Simak juga adegan cium John Rice dan May Irwin dalam film The Kiss, yang melahirkan kehebohan di Amerika dan menyulut kemarahan kaum agama. Bahkan timbul dorongan untuk membuat peraturan sensor yang berpijak pada agama, padahal kita tahu free sex di Amerika, termasuk kaum mudanya, sudah merajalela sejak lama.
Seperti pada kasus-kasus berbau pornografi lainnya di Indonesia, bisa menimbulkan kontroversi yang berkepanjangan. Yang pasti, munculnya gejolak di masyarakat terkait film berbau pornografi adalah akibat kriteria lulus sensor yang dianut LSF selama ini terlalu lemah. Guna meningkatkan kualitas kriteria penilaian lulus sensor, maka kinerja LSF perlu ditingkatkan, terutama program jemput bola terhadap masyarakat film. Kalangan film perlu melakukan kontrol ke dalam yang lebih baik agar tidak lagi menuai kecaman masyarakat. Tak kurang dari AA Gym, panggilan akrab tokoh agama KH Abdullah Gymnastiar, maupun Sekjen Majelis Ulama Indonesia Dr Din Syamsuddin beserta sejumlah artis Ibu Kota memprotes film Buruan Cium Gue, karena pemutaran film itu dinilai memberikan dampak negatif terhadap moral masyarakat terutama kaum remajanya. Sebab itu Menbudpar menyatakan film Buruan Cium Gue secara resmi ditarik dari peredaran. Berdasarkan instruksi dari Depbudpar, LSF akhirnya mengeluarkan surat pembatalan Surat Lulus Sensor (SLS) atas film Buruan Cium Gue.
Dalam pemutaran film tersebut tampak jelas bahwa para anak remaja yang memainkan peran Buruan Cium Gue sebenarnya sudah dieksploitasi demi mengeruk keuntungan industrialisasi media. Demi keuntungan industri film dan hiburan, dewasa ini anak-anak remaja kita ”diseret” ke dalam eksploitasi seksual dan ekonomi semata. Gairah dan sensasi seksual anak remaja dieksploitasi untuk dipertontonkan dengan tampilan yang seronok dan vulgar. Seperti biasanya, para pemodal maunya mengeduk keuntungan berlipat ganda di atas eksploitasi birahi atas anak-anak remaja. Dalam konteks itu mereka yang terjebak dalam komersialisasi industri media, jelas tidak relevan untuk dipahami sebagai hak pribadi yang sedang mengekspresikan diri. Sebab, alur kisah ataupun akting yang dilakonkannya bukan ekspresi otonom dari anak remaja, melainkan total hasil arahan skenario kapitalis industri film yang memang tidak bisa ditampiknya.
Pornografi sudah seperti candu yang mengandung bahaya besar dan merusak seluruh sendi kehidupan masyarakat khususnya bagi generasi muda, sehingga pemberantasan pornografi harus jalan terus. Pornografi bisa mengancam kehidupan moral pribadi seseorang yang menyukainya untuk berselingkuh. Pada kehidupan sosial, pornografi bisa memicu ben- trokan fisik di masyarakat seperti yang pernah terjadi di Kalijodo Jakarta Utara dan di Bongkaran Tanah Abang Jakarta Pusat.
Kejahatan Seksual
Tak sedikit rumah tangga menjadi berantakan gara-gara salah satu pasangan suami istri terprovokasi adegan-adegan panas dari VCD porno. Di samping itu banyak penggemar pornografi, baik yang masih bujangan maupun sudah berkeluarga, mereka menjadi acuh tak acuh bahkan sama sekali tidak memiliki apresiasi terhadap lembaga perkawinan.
Pornografi juga dekat dengan kejahatan seksual seperti yang sering terungkap dari hasil investigasi polisi terhadap kasus-kasus perkosaan, ternyata banyak pelaku mengaku melakukan perkosaan gara-gara terpengaruh VCD porno. Dari temuan Polda Metro Jaya selama tahun 2003, di DKI Jakarta tercatat 78 kasus kekerasan seksual yang terkait pornografi. Dalam seminar sehari ”Profesi di Bidang Komunikasi. Aset Intelektual di Masa Depan” di Jakarta (19/08/2004), telah ditekankan perlunya melakukan perlawanan terhadap media massa, termasuk produk perfilman yang mengabaikan etika dan moral sebagai implikasi dari komersialisasi dan industrialisasi media. Persoalan media massa yang tidak menggubris etika dan moral bukan hanya urusan pihak MUI, gereja, maupun para tokoh agama, tapi sudah menjadi urusan publik, karena dampak negatif pornografi selama ini telah terbukti banyak merusak keharmonisan keluarga dan keamanan masyarakat.
Anak-anak remaja paling rentan terhadap bahaya pornografi karena secara psikologi mereka sedang memasuki masa pubertas dengan libido (nafsu seksual) yang berpotensi meledak-ledak, di samping perasaan ingin tahunya yang sangat besar terhadap dorongan biologis itu. Agar mereka tidak menjadi korban pornografi, maka dalam keluarga kita, perlu ditumbuhkan kesadaran akan bahaya pornografi, pengawasan serius orangtua terhadap pergaulan anak, menginstal software penyaringan di perangkat komputer, membuat peraturan keluarga yang tegas dan jelas untuk anak di rumah tentang pemakaian komputer dan VCD, dan melakukan kegiatan yang positif di waktu senggang. Di sekolah-sekolah, pihak pendidik perlu mengarahkan waktu luang para siswanya melalui kegiatan ekstrakurikuler yang positif.
0 comment: to “ Hikmah Kasus Film ”Buruan Cium Gue” ”
Posting Komentar